Sabtu, 10 Juli 2010

daydreaming

Mimpi.
Mimpi adalah imajinasi kelabu yang didengungkan desiran hawa nafsu hingga berwujud keinginan, yang disucikan pembenarannya. Setiap letupan keinginan memamerkan gaungnya, hanya agar semesta alam terusik dan terpikat olehnya. Maka keinginan adalah godaan klasik yang senandungnya kadang lirih saat dia tersiakan.
Dan dia pun hadir dalam mimpi. Membuat jengah dengan wujud kokohnya yang tak teraba. Hanya ilusi megah membuat keingintahuan membayangi. Apakah dia? Bagaimanakah wujudnya aslinya? Darimanakah asalnya? Sungguh elegi yang buyar dalam teka-teki akan keinginan yang singgah dalam mimpi.
Bila saja, mimpi mudah digapai. Maka keinginan bukan suatu tragedi. Maka tak ada keinginan yang ironis. Maka keinginan bukan lagi proposisi mimpi, melainkan dialah mimpi itu sendiri.
Coba dengar bisikan angin, saat dia tertawa hambar. Miris melihat problematika yang mendarah daging dalam nurani manusia. Apakah manusia yang mengontrol keinginan, atau justru sebaliknya?
Derap-derap langkah cemas genderang jantung. Keinginan begitu memikat, hingga mampu menguasai mimpi. Terombang-ambing oleh segala tipu daya dan segenap ilustrasi akan serupa bentuk, dari gumpalan keinginan. Maka kita akan semakin goyah, semakin pilu dan hambar akan teka-teki waktu yang tak menjelaskan apa raga dari keinginan itu sendiri.
Ketika kata-kata bukan lagi yang dimau dan hanya keinginan yang membangkitkan mimpi dalam senandung lirih para insan yang tertidur lelap, maka keinginan pun mulai kehilangan artinya. Mimpi hanya bayangan buram akan ketidakpastian. Dan kembali membuat kita bertanya. Bertanya pada diri sendiri, selayaknya kita sedang bertanya pada Tuhan. Apakah manusia yang mengontrol keinginan, atau justru sebaliknya. Keinginan yang mengontrol manusia.
Berkehendaknya manusia seolah menjadi pertanyaan klasik yang hanya menjanjikan kemampuan menjawab, tanpa pembuktian yang nyata. Tanpa evaluasi. Tanpa realisasi.
Jika saja, manusia dapat hidup di negeri dongeng, dimana setiap orang dapat hidup dalam mimpi mereka dan menghidupkan mimpi itu sendiri. Santun didengungkan serentetan dongeng hanya agar kita bertahan. Dan mampukah kita bertahan dalam negeri dongeng? Negeri yang layaknya sangkar emas, dimana kebahagiaan adalah memikat, kemudian mengikat.
Namun, aku mau bermimpi. Aku ingin bermimpi. Entahlah mimpi itu hanya ilusi dan hanya keinginanku yang mampu hidup didalamnya. Aku tetap ingin bermimpi. Entahlah mimpi itu mampu memburamkanku dengan luapan keinginanku yang terpancar didalamnya. Aku tetap ingin bermimpi. Entahlah hingga pada akhirnya aku menjalani hidupku layaknya mimpi, biarkanlah mimpi menjadi hidupku.
Layaknya madu beracun, yang begitu manis memikat. Warna coklat keemasan begitu menarik, hingga mengundang orang menyentuhnya. Mencobanya setetes demi setetes hingga akhirnya ketagihan. Dan malaikat kematian pun mampu tersenyum lebar, hingga akhirnya dengan sabar menanti dan siap menjemput raga yang jiwanya terenggut. Begitulah memikatnya mimpi. Kekuatan dari keinginan. Penuh ketidakpastian dan dunia yang tak mengenal batasan.
Bahagialah kamu yang berkeinginan. Bahagialah kamu yang bermimpi. Karena mimpi takkan hadir tanpa keinginan yang membahana dalam gejolak jiwa setiap insan. Mimpi adalah senjata yang mampu membuat bumi dan langit iri sekaligus berdoa. Berdoa untuk tahu, bahwa mimpi mereka hadir untuk menjadi suatu realitas. Perihnya realita mungkin membangunkanmu dari mimpi. Namun bukan berarti memacumu lari darinya. Realita menginginkanmu hanya agar kamu bangun dan kembali bermimpi, hingga kamu bangun untuk mengejar mimpi itu. Realita menyadarkanmu akan pesan kehidupan. Bermimpilah.

jana and yana

Aku mau piknik, ujar Jana pagi itu.
Mata besarnya terlihat berbinar menatap Dion yang baru saja bangun dari tempat tidurnya kala itu. Dion pun mengusap wajah dengan kedua tangannya, berusaha menyegarkan pikirannya, agar dapat menyimak lebih jelas kelakuan Jana kali ini.
Sori, kamu bilang mau apa?, tanya Dion lagi.
Aku mau piknik, Dion. Semuanya udah aku siapin di tas. Ayo, kamu mandi. Wear your glasses and take a bath by now. I’ll wait, ujar Jana lagi.
Sambil menggaruk kepalanya, Dion memeriksa jam dindingnya. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Udara masih terlalu jernih dan dingin untuk sebuah piknik. Diliriknya sosok gadis dengan rambut yang dikuncir asal itu. Dia terlihat bersemangat memeriksa kelengkapan di dalam tasnya. Entah apa saja barang-barang yang ditaruhnya di dalam tas rotan berukuran besar itu.
Serius? Terus kamu ngapain bawa tas rotan gitu, sih?, tanya Dion acuh tak acuh.
This is a picnic, ok? We should bring this rattan bag and a blanket, just like the irish does, jawabnya bersemangat sambil memamerkan tas rotan dan selimut bermotif kotak-kotak.
Whatever, gumam Dion tak ambil pusing.
Dion pun mengambil handuknya dan segera menuju kamar mandi, yang terletak di dekat kamarnya. Matanya sedikit melirik ke sekitar kamar mandi, apakah ada teman-teman kontrakannya yang sedang mengincar kamar mandi pagi itu.
Haha, siapa juga yang mau mandi minggu pagi gini, celetuknya dalam hati.
Dion melangkah masuk ke kamar mandi dan mandi secepat yang dia bisa. Dia tak ingin membuat Jana menanti. Jana bisa menyindirnya habis-habisan kalau rencana pikniknya digagalkan Dion. Selesai mandi, Dion memakai deodorantnya yang ada di kamar mandi, kemudian memeriksa senyumnya pagi itu. Apakah dia sudah menggosok gigi dengan bersih atau tidak. Setelah dia yakin secemerlang apa dia pagi itu, Dion pun melangkah keluar kamar mandi. Dia membuka pintu, dan..
Hoi! Pagi amat, Yon? Gue kira siapa, ngerusak morning tradition gue aja, celetuk pria bertubuh tambun didepannya itu.
Ah elo, Rob. Itu, Jana ngajakin piknik, jawabnya malas.
Cengiran Robi yang penuh arti pun segera terukir polos, seolah dengan sengaja dia tak berniat menutupinya sama sekali.
Romantisnyaaaaaaaa…
Berisik ah, sana lo, mau boker kan?
Kereen. Tau gitu sih, lo?
Morning tradition, nyet. Apaan lagi, coba?
Lo emang temen yg paling pengertian. Sayang Jana nggak ngerti maksud hati lo, hahahhaha. Have fun…’pik-nik’nyaaaa
Spontan Dion bergaya setengah melempar Robi dengan handuknya. Masih adaaa saja orang yang meragukan hubungan pertemanan dia dan Jana. Namun, dia menahan sikapnya saat Jana tiba-tiba muncul dan bergaya seolah menunggunya terlalu lama. Jana menunjuk-nunjuk jam tangannya dan mengerutkan dahinya.
Ok, wait a minute. It won’t be long, ujar Dion yang segera bergegas.
Sekitar 10 menit kemudian, Dion pun telah bersiap dengan tas ranselnya. Dia mengelap kacamata berframe hitamnya dengan apik, memperjelas matanya yang sedikit terganggu embun pagi itu. Dingin masih nyaman menemani udara di sekitar rumah kontrakannya bersama teman-temannya tersebut.
Ok, kita masih sempet ngejar kereta kan, kalo sepagi ini, celetuk Jana penuh semangat.
Dion sedikit terperangah.
Kereta? Emang kita mau kemana?
Piknik.
Ya di mana?
Taman, lah. Aneh amat sih, lho, ujar Jana sambil berlalu.
Which park?, tanya Dion setengah memekik.
Namun, seperti biasa, the young and impulsive Jana yang selalu mengikuti kemana angin membawanya. There she goes.
Dan beberapa menit selanjutnya, Jana dan Dion sudah berada di dalam sebuah kereta. Membutuhkan waktu sekitar 1 jam menuju tempat mereka piknik. Penumpang kereta di waktu sepagi itu tidak terlalu banyak. Biasanya, di hari Minggu seperti ini, penumpang kereta justru lebih ramai, mengingat tempat tujuan mereka juga termasuk tempat wisata keluarga.
Ini bukan pertama kalinya Jana datang dengan berbagai ide spontannya. Sebagai sahabat, yang notabenenya ada di saat dibutuhkan, begitu pula layaknya Dion pada Jana. Dion yang selalu ada di saat Jana membutuhkannya. Dion ada di saat Jana ingin sate padang di malam hujan lebat. Dion ada di saat Jana ingin melihat Yogyakarta di pagi hari. Dion ada saat mereka berdua tersesat dan menghabiskan waktu menemukan jalan pulang. Dan terakhir, Dion ada saat Jana mau piknik di taman yang membutuhkan waktu 1 jam perjalanan via kereta api.
Jan, nggak ada tempat piknik yang lebih jauh lagi?, celetuk Dion, menatap Jana yang melihat pemandangan di jendela kereta api.
Jana yang hanya nyengir asal, tersenyum cerah saat Dion menatap matanya dengan lurus.
Aku mau deh, kita main petak umpet kaya waktu itu, Yon, ujar Jana, mengalihkan pembicaraan.
Petak umpet?, tanya Dion-teralihkan.
Iya, inget nggak? Yang kita main petak umpet keliling Jakarta. Aku sama kamu pisah jalan. Kita ngumpet di berbagai tempat di Jakarta. Kita pergi ke rute berbeda. Masing-masing harus nentuin 4 tempat untuk dikunjungin hari itu. Kita foto diri kita di tempat itu sebagai bukti. Dan kita harus sampai di tempat yang kita janjiin, sebelum waktu yang ditentukan. Siapa yang telat, dia kalah
Dan yang kalah, harus ngelakuin apapun yang dimau yang menang. AH! Gimana aku bisa lupa. Terakhir kali kamu yang menang, curang weeeek!
Hahahahhaha. Tapi kan request aku simple, nggak mahal-mahal
Tetep aja, kamu request aku nganterin kamu nyari ketoprak. Nyarinya sih, nggak susah, tapi berhubung nyarinya via ngebonceng kamu pake sepeda, astagaaa meletus betis aku
Hahahahahhaha. Masih untung aku nggak ngerengek naik becak, ya
Hahhahaha, segitu pengennya betis aku meletus kayak balon ya, Jan?
Hahhaahahahah. Yana is gay
Dan tawa Dion lenyap saat mendengarkan satu kalimat terakhir dari Jana. Berbeda dengan Jana yang masih saja meneruskan tawanya. Jana bahkan mungkin tak menydari seberapa berat pernyataan yang dilontarkannya barusan. Pernyataan yang mengundang pertanyaan.
Did you say that your brother is gay? For sure?, tanya Dion memperjelas apa yang baru saja didengarnya.
Kali ini Jana hanya nyengir lebar. Wajah polos dan mata berbinarnya terlihat tulus dan apa adanya.
Yesterday, he admitted it
Did your mom know about this?
Sooner or later, jawabnya mantab.
Tatapan lurus yang jujur dan tak menghakimi itu, hanya Jana yang memilikinya. Selain Jana, pastilah Yana. Saudara kembarnya.
Do you know one thing about being impulsive people? They always follow their heart, even if it’s to run away from their troubles.
They look tipsy of their happiness and happy as they can be.
Dan sosok itulah yang ditatap Dion saat ini. Sosok santai Jana yang ‘seolah’ menghadapi kenyataan.
Jana yang realistis dan impulsive, berkebalikan dengan Yana yang sensitif dan delusive. Dibesarkan oleh single parent yang independent. Saudara kembar itu terlihat saling melengkapi, menutupi kekurangan satu dan lainnya. Dion is the first person who can enter the bond between Jana and Yana.
Walau Jana lebih realistis, namun Dion tahu dengan benar, bahwa justru Yana lebih tegar daripada Jana. Bukan karena Yana adalah pria. Tapi lebih pada sifat Jana yang absurd. She doesn’t even know the map of herself. Dion adalah orang pertama yang bisa Yana percaya untuk dia menitipkan Jana.
Jana yang selalu terlihat santai. Justru saat dia semakin tertawa lebar, yang terdengar oleh Dion adalah kebingungan. Jana yang linglung, yang tak pernah bisa menyayangi siapapun, kecuali Ibunya dan Yana. Dan kini keseimbangan sisi realistisnya akan terpengaruh oleh kenyataan harus serealistis apakah dia saat dunia mengetahui tentang Yana?
Kereta pun kini telah berhenti di stasiun yang berjarak 1 jam dari kota tempat mereka tinggal. Sinar matahari sudah mulai meninggi, namun belum begitu terik. Waktu mereka piknik masih ada.
Cari penyewaan sepeda, yuk, ajak Jana.
Dion yang menggeleng-gelengkan kepalanya langsung luluh saat Jana menggandeng tangannya dengan semangat.
Benar saja, ada tukang penyewaan sepeda di dekat stasiun itu. Setelah bernegosiasi sejenak, akhirnya mereka pun pergi menuju taman tersebut. Tentunya dengan Dion membonceng Jana. Jalanan yang sedikit menanjak, tak melunturkan semangat Dion yang ingin memenuhi hasrat Jana kala itu.
Begitu sampai di taman dan mencari tempat yang sedikit nyaman-tepat di bawah matahari hangat-her favorite. Jana membentangkan selimut lebarnya. Kemudian dia mengeluarkan sandwich yang telah dipersiapkannya.
Sori ya, adanya sandwich. Kamu kan tahu aku nggak bisa masak, ujar Jana tersipu malu.
Hahaha, belajar deh kamu dari Yana. Masa jagoan dia masak dari kamu?
What can I say? He’s such a gay, and indeed, he is
Sambil masih terkekeh, Jana mempersiapkan hidangan untuk Dion, berikut dengan orange juice kesukaan Dion, lalu dessert berupa waffle dengan selai blueberry dan rangkaian buah segar. Dion yang sudah kehabisan tenaga akibat mengayuh tanjakan dan membonceng Jana, langsung melahap hidangan tersebut.
Saat dia melahapnya, Dion sedikit malu melihat Jana yang menatapnya secara terang-terangan. Jana menatapnya lurus dan penuh konsentrasi.
Ngeliat apaan kamu?
Kamu, lah
Hahahhaha. Heh jangan suka bikin orang geer
Siapa? Kamu?
Iya, lah. Siapa lagi?
Kalo geer, artinya naksir
Well, I don’t
Well, I do
Uhuk uhuk! Uhuk uhuk!, Dion pun tersedak. Setengah terkekeh, Jana memberikan minuman padanya. Dion langsung meminum segelas air putih yang juga dibawa Jana. Kemudian, setelah menenangkan diri, Dion memandang Jana dengan ekspresi serius.
Jan, perasaan bukan ajang main-main
I know
So, for your information, do not say anything about this anymore
So you don’t like me?
Hening.
I thought that we’re friends
Bullshit. We could never be friends. Robi dan temen-temen kontrakan kamu pasti juga mikir yang lain kan?
Sekali lagi. Hening.
Dion tak tahu apa yang bisa dia katakan. Semua yang telah dia acuhkan, kini seolah terbuka. Menguap menjadi beberapa tutur kata jujur dan ringan dari Jana. Perasaannya yang selalu dia coba hindari dan acuhkan, seolah datang dan menyerbu otaknya dalam sekejab.
Ok, here’s the thing. I like you. I really do. I don’t want you. I need you. I can’t be my self with anybody else, but you. I can’t be not around you. So I guess, I need to be next to you, for the rest of my life.
Jana langsung menutup mulut Dion saat Dion mencoba memberikan respon.
But I can’t give you a status. Ini aku, Dion. I can’t live in a relationship. That’s not my thing. Relationship just make people come and go. It doesn’t guarantee the people would stay. I don’t do that. But I can live on your side, as long as you want me
Hening. Jana membuka bekapan tangannya. Dia membiarkan Dion bicara kini.
Namun Dion hanya terdiam. Diciumnya dahi Jana, kemudian dia memeluk Jana dengan erat. Tidak satu pernyataan pun keluar dari mulutnya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Jana ‘menghadapi’ sesuatu.

Love Presentation

“Kenapa aku harus nerima kamu?”
Kiki mengerutkan dahinya. Wajah bulat dan menggemaskannya terlihat cemberut sekaligus bingung menatap Morie yang membawa sebuah cincin yang dibuat dari bunga, yang buru-buru dibuatnya tadi pagi akibat ide mendadak melamar sahabatnya itu dengan alibi ‘say it with flowers’. Bukan sebuah cincin yang layak yang sewajarnya diberikan saat seorang pria melamar seorang wanita, sama tak layaknya dengan seorang Morie yang tak pernah serius itu kini berlutut melamar sahabatnya sendiri, yang sedang duduk santai di bawah pohon rindang tempat mereka biasa bercanda dan berbagi cerita.
“Memangnya ada alasan buat kamu nolak aku?”, tanya Morie ikut mengerutkan dahi, penuh kepercayaan diri dan ketulusan.
“Ok. Kalo ini bercanda, aku nggak mau ikutan”
“Kalo serius, kamu mau?”, tanya Morie penuh harap.
“Morie!”
“Ya, sobatku yang bawel”
“See? Kamu nggak pernah serius”
“Tapi kamu mau aku serius sama kamu?”
“In your dream! We’re bestfriends, not couple”
“Tapi aku nggak mau pacaran sama kamu, Ki”
Kiki bertolak pinggang. Wajahnya merah menahan marah.
“Gimana caranya dari sobatan langsung nikah!? Mikir dong, Morieeeeeeeee”
“Aku maunya kamu tetap jadi sobatku”
“Sobat bukan pasangan hidup, Morie”
“Aku nggak mau kamu cuma jadi pasangan hidupku, Ki. Aku mau kamu jadi sahabat dan teman hidup sampai akhir hayatku”
“Tanpa nikah, kita bisa sahabatan terus kok, Mor”
“Kita bisa saling mengerti dan memahami selamanya”
“Yap”
“Tapi aku mau jadi yang satu-satunya mengerti dan memahami kamu”
“Morie, be serious”
“Aku boleh presentasi bentar nggak?”
“Hah?”
“Aku konyol dan nggak pernah serius. Aku selalu gagal presentasi dengan baik. Tapi aku mau ini jadi presentasi terbaik aku, dan aku mau kamu satu-satunya yang jadi saksi presentasi terbaik aku”
Kiki bingung. Dia menahan tawa akan kelakuan sahabatnya kali ini. Entah jebakan atau bahan lawakan apalagi yang akan dilihatnya dari Morie. Melihat wajah penuh harap Morie, Kiki menganggukkan kepalanya.
“Kirana Indira Raisha. Kamu orang paling bawel dan menyebalkan yang pernah aku temui”
Sedikit terkejut. Kiki membelalakkan matanya.
“Kamu keras kepala, galak, miss repot dan suka ngerepotin orang, sok idealis, bawel, tukang komentar, perfeksionis padahal ceroboh. Aku nggak tahu maumu. Tapi aku yakin kamu sendiri nggak tahu mau kamu apa. Kamu orang paling menyebalkan yang pernah aku temui”
Setengah menganga, mata Kiki semakin membelalak. Seolah siap menyalak dan mencabik Morie yang kini berdiri mempresentasikan presentasi terbaiknya.
“Dan ada banyak hal yang aku nggak ngerti dari kamu”
Kiki menatapnya tajam.
“Kenapa orang sekeras kepala dan serepot kamu bisa bikin aku semakin nggak bisa ngebiarin kamu”
“Kenapa orang segalak kamu bisa bikin aku ketagihan lihat kamu marah-marah”
“Kenapa aku bisa kangen setengah mati kalau nggak denger bawelnya kamu”
“Kenapa semakin aku nggak ngerti kamu semakin aku pengen tahu tentang kamu”
“Dan yang paling aku nggak ngerti, kenapa orang semenyebalkan kamu bisa bikin aku sebegini nyamannya di samping kamu”
“Setiap hari aku bingung gimana mesti menghadapi kamu. Aku bingung harus tetap jaga persahabatan kita atau harus menjadikan kamu pacarku”
“Jadi, semalaman aku berpikir keras dan akhirnya aku memberanikan diri. Posisi apa yang pantas kamu tempati di hatiku”
“Be the love of my life, Kirana Indira Raisha”
Kiki terbengong-bengong mendengar presentasi Morie. Seolah itu bukan sosok Morie yang selama ini dikenalnya. Morie yang ini begitu serius dan yakin akan dirinya. Namun Kiki tak ingin terkecoh begitu saja. Dia tak mau Morie membodohinya untuk kesekian kali, seperti biasanya.
“Atas dasar apa kamu seenaknya milihin posisi aku? Emang kamu pikir aku bakal setuju? Emangnya aku bakal mau sama kamu? Emangnya aku peduli sama semua presentasi kamu?”
“Kamu bawel banget ya, Ki”, celetuk Morie cengar-cengir, membuat wajah Kiki bersemu merah.
“Nggak bisa jawab, kan?”, serang Kiki sebal.
“Emangnya kamu mau nyari kemana lagi cowok yang bersedia mencintai kamu segila dan sekonyol aku?”
“Yee! Emang yang mau sama aku cuma kamu doang!?”
“Tapi yang aku mau cuma kamu”
“Dan aku nggak pernah ngelihat kamu segombal ini”
“kamu yang paling tahu aku paling nggak bisa gombal”
“Yakiiiinnnnn?”
“Heh, sesi tanya jawab presentasinya belum dibuka, tahu”
“Buka aja. Pertanyaan aku cuma satu, kok”
“Ok. Apa pertanyaannya?”
“Kasih aku satu alasan kenapa aku harus nerima kamu”
“Hahahah”, Morie tergelak.
“Kenapa ketawa?”
“Kamu belum ngerti juga ya, Ki?”
“Emang kenapa?”
“Aku butuh kamu, lebih daripada kamu butuh aku”
“Shit”, geram Kiki speechless.
Senyum lebar menghias wajah Morie yang kini berbinar, menunjukkan kepercayaan dirinya yang menumpuk.
“Gimana presentasiku?”
“E”
“Hah? Serius!?”, Morie terbengong-bengong.
“E for Excellent”

sebuah kerinduan

Teruntuk, rangkaian kata yang jengah diurai
Teruntuk, paduan sinyal jernih nada sikap
Teruntuk, gema beriring untaian rasa
Seekor gagak hitam terbang melintasi hutan kelam. Sekilas, pandangannya terjerat pesona Sutra yang menyisir lembut rambut hitam legamnya. Cantik, namun angkuh dan menyilaukan.
Gagak pemalu pun bertengger di sebuah pohon rindang di sisi hutan kelam. Matanya nikmat menjamah tiap gerik cantik Sutra anggun.
Kibasan bulu matanya yang memikat, menjebak gagak pemalu yang hanya bisa mengintip mengagumi idamannya.
Adakah mahluk selain dia yang sebegitu indahnya?, tanya gagak pemalu dalam hati.
Gagak pemalu hanya bisa diam, lalu dia memutuskan terbang menjauhi mutiara hutan itu, Sutra namanya.
Gagak terbang tak tentu arah, berusaha lepas dari bayangan Sutra, yang begitu kemilau diingatannya.
Keesokannya, gagak pemalu kembali melintasi hutan kelam itu. Dengan sosok gagah penuh kebanggaan, dia terbang acuh tak acuh, namun sesekali melirik penasaran mencari sosok Sutra, mahluk terindah yang hinggap dikepalanya.
Dan bertemulah gagak dengan sosok Sutra yang sedang membelai lembut sebuah pohon rindang, tak jauh dari pandangan si gagak.
Hati-hati, si gagak mempelajari tiap langkah Sutra yang bersenandung merdu, seolah berbisik pada alam. Menciumi dedaunan yang meranggas dan terbang membelai rambut hitam legamnya, membuat iri si gagak yang tak tahan ingin ikut menghampirinya.
Lama gagak menanti hingga Sutra selesai bersenandung. Dia begitu ingin menghampiri Sutra, tanpa harus mengusiknya.
Pantaskah gagak menjamahmu, Sutra?
Seketika Sutra bungkam. Dia membisu menatap langit dari rindangnya hutan kelam. Dan sunyi menggerogoti syahdu senyap sang hutan. Tak ada apapun menemani Sutra.
Gagak pemalu tersadar. Betapa Sutra hanya sendirian. Mungkin selalu sendirian. Dan Sutra selalu menatap langit, entah kemarin atau pun hari ini. Entah apa yang dinanti Sutra. Entah apa yang memikatnya di langit luas itu. Apakah biru yang pilu memanggilnya, atau kah jauhnya langit untuk bisa digapainya. Gagak pun tak tahu. Namun dia butuh untuk tahu. Dia ingin tahu, apa yang disimpan dalamnya mata coklat itu. Apa yang mengalir bersama derasnya aliran darah dalam tubuh pucat wajah sendu itu. Udara apa yang meresap di setiap tarikan nafas Sutra.
Gagak pun mengurungkan niatnya. Tak mungkin dia menghampiri Sutra. Jauh jarak tak terungkap yang ada antara dia dan Sutra. Dalamnya kisaran jiwa Sutra, begitu ditakuti oleh gagak, dapat menenggelamkan jiwanya. Gagak pun memutuskan pergi. Terbang jauh, menembus kelamnya hutan.
Mungkin besok, Sutra takkan sejauh ini dariku,bisiknya dalam hati.
Besok harinya pun, gagak terbang, namun kali ini tidak dengan gagah sosoknya. Dia terbang ragu dan kadang penuh lamunan dan bingung yang berperang dengan rindu. Dia rindu akan sosok Sutra.
Gagak terbang bebas, tanpa satu tarikan angin menahannya. Dia melintas, melesat dengan cepat, menghampiri pohon rindang kemarin. Dia pun menanti sosok Sutra. Menanti dan terus menanti, berharap hari ini Sutra sudi menyadari kehadirannya, gagak pemalu, pengagumnya.
Datanglah sayup-sayup suara langkah kaki anggun itu. Cerah hati gagak, melebihi cerah warna bulunya. Namun seketika sirna pula kilauan hati gagak. Murung wajahnya menatap sosok tinggi gagah yang berdiri mendampingi Sutra. Manusia sepadan, yang sanggup membuat Sutra tak peduli akan birunya langit dan jauhnya angkasa.
Beriringan pendampingnya memegangi jemari lentik Sutra, melukis senyum yang tak pernah sanggup gagak pahat di wajah lembut Sutra.
Gagak murung.
Gagak bisu.

Dan dia hanyalah gagak.
Tak punya kata, tak punya cara. Yang dia tahu hanya rasa.
Tak punya alasan, tak menuntut jawaban, yang dia tahu hanya ‘ada’.
Gagak pun terbang tinggi, menembus redupnya langit. Menghantarkan dirinya pada kalbu harapan semu.

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto saya
I am a product of imagination who dwells in a faraway castle. This blog is not related to my profession in real life but meant to be a tool for me as a human to share my thoughts and notions. This blog was initially started as a project in my college time because I took marketing communication as my concentration but it appears that I need a vessel of my imagination so here we are ! PS: pardon my language or thoughts if you feel it's quite offensive :)

Pengikut

Arsip Blog