Rabu, 16 September 2009

ajang ekspektasi

Dimas menatap lurus sosok kontradiktif dan kompleks Naya. Sebuah sosok tegas yang justru lebih tegas pada dirinya sendiri, ketimbang orang lain. Sosok angkuh yang pasang harga selangit justru pada dirinya sendiri. Sosok tajam yang lebih setia menghunuskan pedangnya, sekali lagi, justru pada dirinya sendiri.
Sosok yang bermusuhan dengan dirinya ini pun kini terlihat sedang menyelesaikan perangnya. Perang imajinasi yang takkan pernah bisa Dimas pahami. Perang yang lahir dari dunia dan pribadi sosok Naya, sosok kontradiktif yang melahirkan kontradiksi kompleks dalam diri Dimas.
Dan kini Dimas geram. Dia tak ingin lagi ada di luar perang itu. Dia ingin ada di dalamnya. Dia ingin menjadi musuh Naya. Sebuah sosok kuat yang selalu berseberangan sekaligus bersisian dengannya. Sosok yang dapat menentang dan memahami Naya di waktu yang bersamaan. Sosok yang menjadikannya ada dan tiada. Sosok yang menjadi alasan adanya Naya.
Dimas ingin menerobos benteng yang dibangun Naya. Terlalu lama dia berdiam diri membiarkan Naya membangun tembok kokoh itu. Ini waktunya dia meminta haknya. Dia jengah melakukan kewajibannya, membiarkan Naya membangun satu persatu balok batu komponen benteng dingin itu. Terlalu lama putri angkuh itu duduk di singgasananya. Dan detik ini, Dimas akan membawanya. Menyeret sosok kompleks itu, agar mau memandang sosok yang semakin sesak atas deraan angin dingin dari benteng itu.
Dimas menghela sejenak. Dia berusaha mengulum emosinya. Dia tahu benar, dia tak dapat menerobos benteng itu dengan mendobrak gerbangnya, sementara telah terlalu lama dia mengetuk gerbang benteng itu. Dan kali ini dia akan berteriak. Memaksa Naya untuk turun dari singgasananya dan melihat sejelas mungkin sosok yang ingin masuk itu. Sosok yang merasa berhak untuk masuk, namun kini jengah akan lamanya pintu benteng itu terbuka.
“Lihat aku, Naya Andhini”
Setitik ragu melintas di kedipan sekilas matanya. Namun dengan tegas dan tajam, Naya menolehkan pandangannya. Pandangan lurus itu terlihat sedikit goyah oleh sorot lembut Dimas.
“Aku selalu melihat kamu, Dimas”
Senyum tipis yang sinis mampir di wajah konyol Dimas. Wajah yang selalu berhasil menghibur Naya yang gamang.
“Kamu cuma ngelihat sosok yang pengen kamu lihat”
“Aku ngelihat apa adanya kamu, Mas”
“Termasuk perasaan aku?”
Hening.
Tarikan nafas Naya tertahan.
Sekali lagi Dimas membungkam emosinya.
“Apa kamu juga ngelihat aku, Dimas?”
“Selalu dan seutuhnya”
“Termasuk perasaan aku?”
Sekali lagi senyum sinis menghias wajah Dimas.
“Memangnya kamu punya?”
“So, you’ve got the point”
“In which side, Naya? It’s all yours”
Naya menghela nafasnya. Dia terlalu lelah dan jengah. Bukan oleh Dimas, namun lebih pada perang yang kini kembali mengisi kepalanya. Semakin teriakan hati Dimas menjerit, semakin gemanya mengguncang keseimbangan Naya.
Dimas bukan musuhnya.
Dan takkan mungkin menjadi.
Dan dia takkan pernah membiarkan itu terjadi.
“Aku mau kamu jadi milikku, Nay”
“Ini bukan masalah kepemilikan, Dimas”
“Lalu apa?”
“Kita berseberangan”
“Cinta bisa membuat kita bersisian”
Naya tertawa miris.
Dimas menggeram, bingung akan gelak tawa Naya.
Keduanya tenggelam dalam keburaman.
“Kamu baru menunjukkan kita berseberangan”, ujar Naya, akhirnya.
Dimas membisu. Namun wajahnya terlihat bawel dan sesak akan pertanyaan. Lagi-lagi dia terjebak sosok kompleks Naya. Senyum Naya terukir lembut. Kini sorot tajam itu telah pergi. Ada kesepahaman dalam hatinya. Perang itu kini usai.
“Aku perlu tahu perasaanmu, Naya. Kalau itu memang ada”
Hening.
Dalam, Naya menatap sosok akrab dan selalu istimewa di matanya itu. Sosok yang ingin dibiarkannya bebas dan tak terbeban oleh keburaman akan dirinya dan penasarannya.
“Perasaanku nggak penting”
Naya menundukkan kepalanya. Di depannya, ada sosok yang paling ingin dipertahankannya, sekaligus dibebaskannya. Dan sosok itu, mengenali kegamangan yang dilukiskan Naya. Tangan itu pun terulur ke arah Naya, seolah tak memperdulikan jawaban Naya barusan. Menguapkan semua keraguan Naya. Tangan itu hanya butuh sambutan dari Naya, bukan jawaban buram yang kompleks dari sosok kontradiktif.
“Mencinta adalah membiarkannya bahagia”
Naya mengangkat kepalanya. Menatap lurus Dimas.
“Membiarkanmu bahagia”
Dimas mengepalkan tangannya. Menarik uluran itu.
“Kalau kebahagiaanku bersama kamu?”
“Dari mana kamu tahu kebahagiaanmu bersama aku?”
“Dari mana kita tahu kalau kita belum pernah nyoba?”
Naya menggigit bibirnya.
“Perasaan bukan ajang percobaan”, jawabnya geram dan mantab.
“Tapi kita nggak akan pernah tahu tanpa mencoba”
“Dan setelah kita tahu?”
Dimas terdiam. Dia meremas jemarinya. Kembali, Naya seolah menbanting pintu dengan keras, tepat di depan mukanya.
“Yang aku tahu, aku bisa sama kamu, Nay”
“Yang aku tahu, gimana setelah kamu sama aku”
“Hubungan bukan ajang prediksi”
“Tapi ajang ekspektasi”
Hening. Hanya dua sorot yang bergejolak. Dua perasaan yang memberontak. Dua persepsi yang bertabrakan. Dua insan yang memperjuangkan keyakinannya.
“Dan ekspektasiku adalah membiarkanmu bahagia, dari sudut pandang aku, Dimas”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto saya
I am a product of imagination who dwells in a faraway castle. This blog is not related to my profession in real life but meant to be a tool for me as a human to share my thoughts and notions. This blog was initially started as a project in my college time because I took marketing communication as my concentration but it appears that I need a vessel of my imagination so here we are ! PS: pardon my language or thoughts if you feel it's quite offensive :)

Pengikut

Arsip Blog