Tampilkan postingan dengan label fiction. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fiction. Tampilkan semua postingan

Minggu, 08 April 2012

Demi Sebuah Rangkulan

Tangan itu terlihat nyaman bertengger di bahu putih sosok anggun berambut panjang itu. Sama nyamannya dengan menyandarnya sosok anggun itu pada si pemilik tangan. Diantara kerimbunan pepohonan yang hijau sejuk Dan temaram cahaya senja yang mengintip dari celah-celah dedaunan,soslk sepasang pria Dan wanita itu terlihat paling wajar di sore itu.
Ada rindu yang samar dilukiskan dua punggung yang berdiri sejajar itu. Mereka terlihat ramah antara satu Dan lainnya,layaknya dua kawan yang sudah lama tidak menjumpai satu sama lain. Kemudian sekali lagi dikatakan,sosok itu semakin terlihat wajar.
Lalu bagaimana yang tidak wajar itu? Apa yang salah Dan tidak pada tempat seharusnya?
Hmm,tidak wajar itu,adalah ketika sosok pria yg merangkul sosok anggun itu adalah milik wanita lain yang sedang mengintip dari kejauhan.Dalam hening sosok itu terjaga mengamati kedua sosok yg dikenalnya akrab.
Bukan amarah Dan bukan kepedihan yang terpancar dari sorot matanya,melainkan kasih sayang yang mengalun dalam batinnya.Ntah apa kata-kata yang tercetus dari bibir pria itu sehingga sosok anggun itu mampu mempertaruhkan segalanya demi sebuah rangkulan.Sosok yang diketahuinya cukup cerdas dalam menerjemahkan bahasan dalam sebuah bahasa.Sosok yang seharusnya tahu mana janji yang sungguh akan terwunud,Dan mana yang hanya rangkaian kata layaknya butiran air yang menguap membentuk awan ringan yang terbawa angin.
Pada kenyataannya,kata-kata adalah representasi dari kepentingan masing-masing pihak. Keberadaannya adalah relatif,yang artinya tidak satu pun dapat terpegang. Bahwasanya adalah kesia-siaan jika kita melemparkan kesalahan pada kata demi kata individu lainnya. Karena tepat sesaat sebelum kita mempercayai kata-kata itu,kita telah lebih dulu mengacuhkan kata hati kita sendiri.Jadi mengapa kita masih memindahkan tanggung jawab itu di saat terlepas Sebuah tindakan dipicu oleh kata-kata. Sesungguhnya,saat kamu membuat keputusan,maka kepemilikan untuk sebab Dan akibatnya adalah dirimu sendiri.
Tersadar,sosok wanita dikejauhan itu bangun dari lamunannya. Suara dering handphonenya berbunyi. Diangkatnya dengan spontan,"ya Pa?".
"Ma,kita jadi makan siang nggak,aku mau masak nih,perayaan hari jadi pernikahan kita".
Si istri,tertegun sejenak. Dilihatnya jam tangannya,lalu diliriknya sosok pria yang masih merangkul sosok anggun itu kini sebelah tangannya sedang memegang handphone.
"Pa,Maaf ya aku tahu hari ini hari jadi kita Dan kebetulan ini jatuh di hari libur. But seems that I'm gonna work until late. Will u b ok ?".
Hening di kejauhan, hingga akhirnya sang suami menyahut,"well,if it's more important,then what can I say? I'm with your bestfriend now. I can invite her to come over to taste my cooking".
"yes,it is. And yes, you may invite Laura to fill my absence. Thanks,Dear.Happy anniversary".

Sabtu, 10 Juli 2010

jana and yana

Aku mau piknik, ujar Jana pagi itu.
Mata besarnya terlihat berbinar menatap Dion yang baru saja bangun dari tempat tidurnya kala itu. Dion pun mengusap wajah dengan kedua tangannya, berusaha menyegarkan pikirannya, agar dapat menyimak lebih jelas kelakuan Jana kali ini.
Sori, kamu bilang mau apa?, tanya Dion lagi.
Aku mau piknik, Dion. Semuanya udah aku siapin di tas. Ayo, kamu mandi. Wear your glasses and take a bath by now. I’ll wait, ujar Jana lagi.
Sambil menggaruk kepalanya, Dion memeriksa jam dindingnya. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Udara masih terlalu jernih dan dingin untuk sebuah piknik. Diliriknya sosok gadis dengan rambut yang dikuncir asal itu. Dia terlihat bersemangat memeriksa kelengkapan di dalam tasnya. Entah apa saja barang-barang yang ditaruhnya di dalam tas rotan berukuran besar itu.
Serius? Terus kamu ngapain bawa tas rotan gitu, sih?, tanya Dion acuh tak acuh.
This is a picnic, ok? We should bring this rattan bag and a blanket, just like the irish does, jawabnya bersemangat sambil memamerkan tas rotan dan selimut bermotif kotak-kotak.
Whatever, gumam Dion tak ambil pusing.
Dion pun mengambil handuknya dan segera menuju kamar mandi, yang terletak di dekat kamarnya. Matanya sedikit melirik ke sekitar kamar mandi, apakah ada teman-teman kontrakannya yang sedang mengincar kamar mandi pagi itu.
Haha, siapa juga yang mau mandi minggu pagi gini, celetuknya dalam hati.
Dion melangkah masuk ke kamar mandi dan mandi secepat yang dia bisa. Dia tak ingin membuat Jana menanti. Jana bisa menyindirnya habis-habisan kalau rencana pikniknya digagalkan Dion. Selesai mandi, Dion memakai deodorantnya yang ada di kamar mandi, kemudian memeriksa senyumnya pagi itu. Apakah dia sudah menggosok gigi dengan bersih atau tidak. Setelah dia yakin secemerlang apa dia pagi itu, Dion pun melangkah keluar kamar mandi. Dia membuka pintu, dan..
Hoi! Pagi amat, Yon? Gue kira siapa, ngerusak morning tradition gue aja, celetuk pria bertubuh tambun didepannya itu.
Ah elo, Rob. Itu, Jana ngajakin piknik, jawabnya malas.
Cengiran Robi yang penuh arti pun segera terukir polos, seolah dengan sengaja dia tak berniat menutupinya sama sekali.
Romantisnyaaaaaaaa…
Berisik ah, sana lo, mau boker kan?
Kereen. Tau gitu sih, lo?
Morning tradition, nyet. Apaan lagi, coba?
Lo emang temen yg paling pengertian. Sayang Jana nggak ngerti maksud hati lo, hahahhaha. Have fun…’pik-nik’nyaaaa
Spontan Dion bergaya setengah melempar Robi dengan handuknya. Masih adaaa saja orang yang meragukan hubungan pertemanan dia dan Jana. Namun, dia menahan sikapnya saat Jana tiba-tiba muncul dan bergaya seolah menunggunya terlalu lama. Jana menunjuk-nunjuk jam tangannya dan mengerutkan dahinya.
Ok, wait a minute. It won’t be long, ujar Dion yang segera bergegas.
Sekitar 10 menit kemudian, Dion pun telah bersiap dengan tas ranselnya. Dia mengelap kacamata berframe hitamnya dengan apik, memperjelas matanya yang sedikit terganggu embun pagi itu. Dingin masih nyaman menemani udara di sekitar rumah kontrakannya bersama teman-temannya tersebut.
Ok, kita masih sempet ngejar kereta kan, kalo sepagi ini, celetuk Jana penuh semangat.
Dion sedikit terperangah.
Kereta? Emang kita mau kemana?
Piknik.
Ya di mana?
Taman, lah. Aneh amat sih, lho, ujar Jana sambil berlalu.
Which park?, tanya Dion setengah memekik.
Namun, seperti biasa, the young and impulsive Jana yang selalu mengikuti kemana angin membawanya. There she goes.
Dan beberapa menit selanjutnya, Jana dan Dion sudah berada di dalam sebuah kereta. Membutuhkan waktu sekitar 1 jam menuju tempat mereka piknik. Penumpang kereta di waktu sepagi itu tidak terlalu banyak. Biasanya, di hari Minggu seperti ini, penumpang kereta justru lebih ramai, mengingat tempat tujuan mereka juga termasuk tempat wisata keluarga.
Ini bukan pertama kalinya Jana datang dengan berbagai ide spontannya. Sebagai sahabat, yang notabenenya ada di saat dibutuhkan, begitu pula layaknya Dion pada Jana. Dion yang selalu ada di saat Jana membutuhkannya. Dion ada di saat Jana ingin sate padang di malam hujan lebat. Dion ada di saat Jana ingin melihat Yogyakarta di pagi hari. Dion ada saat mereka berdua tersesat dan menghabiskan waktu menemukan jalan pulang. Dan terakhir, Dion ada saat Jana mau piknik di taman yang membutuhkan waktu 1 jam perjalanan via kereta api.
Jan, nggak ada tempat piknik yang lebih jauh lagi?, celetuk Dion, menatap Jana yang melihat pemandangan di jendela kereta api.
Jana yang hanya nyengir asal, tersenyum cerah saat Dion menatap matanya dengan lurus.
Aku mau deh, kita main petak umpet kaya waktu itu, Yon, ujar Jana, mengalihkan pembicaraan.
Petak umpet?, tanya Dion-teralihkan.
Iya, inget nggak? Yang kita main petak umpet keliling Jakarta. Aku sama kamu pisah jalan. Kita ngumpet di berbagai tempat di Jakarta. Kita pergi ke rute berbeda. Masing-masing harus nentuin 4 tempat untuk dikunjungin hari itu. Kita foto diri kita di tempat itu sebagai bukti. Dan kita harus sampai di tempat yang kita janjiin, sebelum waktu yang ditentukan. Siapa yang telat, dia kalah
Dan yang kalah, harus ngelakuin apapun yang dimau yang menang. AH! Gimana aku bisa lupa. Terakhir kali kamu yang menang, curang weeeek!
Hahahahhaha. Tapi kan request aku simple, nggak mahal-mahal
Tetep aja, kamu request aku nganterin kamu nyari ketoprak. Nyarinya sih, nggak susah, tapi berhubung nyarinya via ngebonceng kamu pake sepeda, astagaaa meletus betis aku
Hahahahahhaha. Masih untung aku nggak ngerengek naik becak, ya
Hahhahaha, segitu pengennya betis aku meletus kayak balon ya, Jan?
Hahhaahahahah. Yana is gay
Dan tawa Dion lenyap saat mendengarkan satu kalimat terakhir dari Jana. Berbeda dengan Jana yang masih saja meneruskan tawanya. Jana bahkan mungkin tak menydari seberapa berat pernyataan yang dilontarkannya barusan. Pernyataan yang mengundang pertanyaan.
Did you say that your brother is gay? For sure?, tanya Dion memperjelas apa yang baru saja didengarnya.
Kali ini Jana hanya nyengir lebar. Wajah polos dan mata berbinarnya terlihat tulus dan apa adanya.
Yesterday, he admitted it
Did your mom know about this?
Sooner or later, jawabnya mantab.
Tatapan lurus yang jujur dan tak menghakimi itu, hanya Jana yang memilikinya. Selain Jana, pastilah Yana. Saudara kembarnya.
Do you know one thing about being impulsive people? They always follow their heart, even if it’s to run away from their troubles.
They look tipsy of their happiness and happy as they can be.
Dan sosok itulah yang ditatap Dion saat ini. Sosok santai Jana yang ‘seolah’ menghadapi kenyataan.
Jana yang realistis dan impulsive, berkebalikan dengan Yana yang sensitif dan delusive. Dibesarkan oleh single parent yang independent. Saudara kembar itu terlihat saling melengkapi, menutupi kekurangan satu dan lainnya. Dion is the first person who can enter the bond between Jana and Yana.
Walau Jana lebih realistis, namun Dion tahu dengan benar, bahwa justru Yana lebih tegar daripada Jana. Bukan karena Yana adalah pria. Tapi lebih pada sifat Jana yang absurd. She doesn’t even know the map of herself. Dion adalah orang pertama yang bisa Yana percaya untuk dia menitipkan Jana.
Jana yang selalu terlihat santai. Justru saat dia semakin tertawa lebar, yang terdengar oleh Dion adalah kebingungan. Jana yang linglung, yang tak pernah bisa menyayangi siapapun, kecuali Ibunya dan Yana. Dan kini keseimbangan sisi realistisnya akan terpengaruh oleh kenyataan harus serealistis apakah dia saat dunia mengetahui tentang Yana?
Kereta pun kini telah berhenti di stasiun yang berjarak 1 jam dari kota tempat mereka tinggal. Sinar matahari sudah mulai meninggi, namun belum begitu terik. Waktu mereka piknik masih ada.
Cari penyewaan sepeda, yuk, ajak Jana.
Dion yang menggeleng-gelengkan kepalanya langsung luluh saat Jana menggandeng tangannya dengan semangat.
Benar saja, ada tukang penyewaan sepeda di dekat stasiun itu. Setelah bernegosiasi sejenak, akhirnya mereka pun pergi menuju taman tersebut. Tentunya dengan Dion membonceng Jana. Jalanan yang sedikit menanjak, tak melunturkan semangat Dion yang ingin memenuhi hasrat Jana kala itu.
Begitu sampai di taman dan mencari tempat yang sedikit nyaman-tepat di bawah matahari hangat-her favorite. Jana membentangkan selimut lebarnya. Kemudian dia mengeluarkan sandwich yang telah dipersiapkannya.
Sori ya, adanya sandwich. Kamu kan tahu aku nggak bisa masak, ujar Jana tersipu malu.
Hahaha, belajar deh kamu dari Yana. Masa jagoan dia masak dari kamu?
What can I say? He’s such a gay, and indeed, he is
Sambil masih terkekeh, Jana mempersiapkan hidangan untuk Dion, berikut dengan orange juice kesukaan Dion, lalu dessert berupa waffle dengan selai blueberry dan rangkaian buah segar. Dion yang sudah kehabisan tenaga akibat mengayuh tanjakan dan membonceng Jana, langsung melahap hidangan tersebut.
Saat dia melahapnya, Dion sedikit malu melihat Jana yang menatapnya secara terang-terangan. Jana menatapnya lurus dan penuh konsentrasi.
Ngeliat apaan kamu?
Kamu, lah
Hahahhaha. Heh jangan suka bikin orang geer
Siapa? Kamu?
Iya, lah. Siapa lagi?
Kalo geer, artinya naksir
Well, I don’t
Well, I do
Uhuk uhuk! Uhuk uhuk!, Dion pun tersedak. Setengah terkekeh, Jana memberikan minuman padanya. Dion langsung meminum segelas air putih yang juga dibawa Jana. Kemudian, setelah menenangkan diri, Dion memandang Jana dengan ekspresi serius.
Jan, perasaan bukan ajang main-main
I know
So, for your information, do not say anything about this anymore
So you don’t like me?
Hening.
I thought that we’re friends
Bullshit. We could never be friends. Robi dan temen-temen kontrakan kamu pasti juga mikir yang lain kan?
Sekali lagi. Hening.
Dion tak tahu apa yang bisa dia katakan. Semua yang telah dia acuhkan, kini seolah terbuka. Menguap menjadi beberapa tutur kata jujur dan ringan dari Jana. Perasaannya yang selalu dia coba hindari dan acuhkan, seolah datang dan menyerbu otaknya dalam sekejab.
Ok, here’s the thing. I like you. I really do. I don’t want you. I need you. I can’t be my self with anybody else, but you. I can’t be not around you. So I guess, I need to be next to you, for the rest of my life.
Jana langsung menutup mulut Dion saat Dion mencoba memberikan respon.
But I can’t give you a status. Ini aku, Dion. I can’t live in a relationship. That’s not my thing. Relationship just make people come and go. It doesn’t guarantee the people would stay. I don’t do that. But I can live on your side, as long as you want me
Hening. Jana membuka bekapan tangannya. Dia membiarkan Dion bicara kini.
Namun Dion hanya terdiam. Diciumnya dahi Jana, kemudian dia memeluk Jana dengan erat. Tidak satu pernyataan pun keluar dari mulutnya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Jana ‘menghadapi’ sesuatu.

Love Presentation

“Kenapa aku harus nerima kamu?”
Kiki mengerutkan dahinya. Wajah bulat dan menggemaskannya terlihat cemberut sekaligus bingung menatap Morie yang membawa sebuah cincin yang dibuat dari bunga, yang buru-buru dibuatnya tadi pagi akibat ide mendadak melamar sahabatnya itu dengan alibi ‘say it with flowers’. Bukan sebuah cincin yang layak yang sewajarnya diberikan saat seorang pria melamar seorang wanita, sama tak layaknya dengan seorang Morie yang tak pernah serius itu kini berlutut melamar sahabatnya sendiri, yang sedang duduk santai di bawah pohon rindang tempat mereka biasa bercanda dan berbagi cerita.
“Memangnya ada alasan buat kamu nolak aku?”, tanya Morie ikut mengerutkan dahi, penuh kepercayaan diri dan ketulusan.
“Ok. Kalo ini bercanda, aku nggak mau ikutan”
“Kalo serius, kamu mau?”, tanya Morie penuh harap.
“Morie!”
“Ya, sobatku yang bawel”
“See? Kamu nggak pernah serius”
“Tapi kamu mau aku serius sama kamu?”
“In your dream! We’re bestfriends, not couple”
“Tapi aku nggak mau pacaran sama kamu, Ki”
Kiki bertolak pinggang. Wajahnya merah menahan marah.
“Gimana caranya dari sobatan langsung nikah!? Mikir dong, Morieeeeeeeee”
“Aku maunya kamu tetap jadi sobatku”
“Sobat bukan pasangan hidup, Morie”
“Aku nggak mau kamu cuma jadi pasangan hidupku, Ki. Aku mau kamu jadi sahabat dan teman hidup sampai akhir hayatku”
“Tanpa nikah, kita bisa sahabatan terus kok, Mor”
“Kita bisa saling mengerti dan memahami selamanya”
“Yap”
“Tapi aku mau jadi yang satu-satunya mengerti dan memahami kamu”
“Morie, be serious”
“Aku boleh presentasi bentar nggak?”
“Hah?”
“Aku konyol dan nggak pernah serius. Aku selalu gagal presentasi dengan baik. Tapi aku mau ini jadi presentasi terbaik aku, dan aku mau kamu satu-satunya yang jadi saksi presentasi terbaik aku”
Kiki bingung. Dia menahan tawa akan kelakuan sahabatnya kali ini. Entah jebakan atau bahan lawakan apalagi yang akan dilihatnya dari Morie. Melihat wajah penuh harap Morie, Kiki menganggukkan kepalanya.
“Kirana Indira Raisha. Kamu orang paling bawel dan menyebalkan yang pernah aku temui”
Sedikit terkejut. Kiki membelalakkan matanya.
“Kamu keras kepala, galak, miss repot dan suka ngerepotin orang, sok idealis, bawel, tukang komentar, perfeksionis padahal ceroboh. Aku nggak tahu maumu. Tapi aku yakin kamu sendiri nggak tahu mau kamu apa. Kamu orang paling menyebalkan yang pernah aku temui”
Setengah menganga, mata Kiki semakin membelalak. Seolah siap menyalak dan mencabik Morie yang kini berdiri mempresentasikan presentasi terbaiknya.
“Dan ada banyak hal yang aku nggak ngerti dari kamu”
Kiki menatapnya tajam.
“Kenapa orang sekeras kepala dan serepot kamu bisa bikin aku semakin nggak bisa ngebiarin kamu”
“Kenapa orang segalak kamu bisa bikin aku ketagihan lihat kamu marah-marah”
“Kenapa aku bisa kangen setengah mati kalau nggak denger bawelnya kamu”
“Kenapa semakin aku nggak ngerti kamu semakin aku pengen tahu tentang kamu”
“Dan yang paling aku nggak ngerti, kenapa orang semenyebalkan kamu bisa bikin aku sebegini nyamannya di samping kamu”
“Setiap hari aku bingung gimana mesti menghadapi kamu. Aku bingung harus tetap jaga persahabatan kita atau harus menjadikan kamu pacarku”
“Jadi, semalaman aku berpikir keras dan akhirnya aku memberanikan diri. Posisi apa yang pantas kamu tempati di hatiku”
“Be the love of my life, Kirana Indira Raisha”
Kiki terbengong-bengong mendengar presentasi Morie. Seolah itu bukan sosok Morie yang selama ini dikenalnya. Morie yang ini begitu serius dan yakin akan dirinya. Namun Kiki tak ingin terkecoh begitu saja. Dia tak mau Morie membodohinya untuk kesekian kali, seperti biasanya.
“Atas dasar apa kamu seenaknya milihin posisi aku? Emang kamu pikir aku bakal setuju? Emangnya aku bakal mau sama kamu? Emangnya aku peduli sama semua presentasi kamu?”
“Kamu bawel banget ya, Ki”, celetuk Morie cengar-cengir, membuat wajah Kiki bersemu merah.
“Nggak bisa jawab, kan?”, serang Kiki sebal.
“Emangnya kamu mau nyari kemana lagi cowok yang bersedia mencintai kamu segila dan sekonyol aku?”
“Yee! Emang yang mau sama aku cuma kamu doang!?”
“Tapi yang aku mau cuma kamu”
“Dan aku nggak pernah ngelihat kamu segombal ini”
“kamu yang paling tahu aku paling nggak bisa gombal”
“Yakiiiinnnnn?”
“Heh, sesi tanya jawab presentasinya belum dibuka, tahu”
“Buka aja. Pertanyaan aku cuma satu, kok”
“Ok. Apa pertanyaannya?”
“Kasih aku satu alasan kenapa aku harus nerima kamu”
“Hahahah”, Morie tergelak.
“Kenapa ketawa?”
“Kamu belum ngerti juga ya, Ki?”
“Emang kenapa?”
“Aku butuh kamu, lebih daripada kamu butuh aku”
“Shit”, geram Kiki speechless.
Senyum lebar menghias wajah Morie yang kini berbinar, menunjukkan kepercayaan dirinya yang menumpuk.
“Gimana presentasiku?”
“E”
“Hah? Serius!?”, Morie terbengong-bengong.
“E for Excellent”

sebuah kerinduan

Teruntuk, rangkaian kata yang jengah diurai
Teruntuk, paduan sinyal jernih nada sikap
Teruntuk, gema beriring untaian rasa
Seekor gagak hitam terbang melintasi hutan kelam. Sekilas, pandangannya terjerat pesona Sutra yang menyisir lembut rambut hitam legamnya. Cantik, namun angkuh dan menyilaukan.
Gagak pemalu pun bertengger di sebuah pohon rindang di sisi hutan kelam. Matanya nikmat menjamah tiap gerik cantik Sutra anggun.
Kibasan bulu matanya yang memikat, menjebak gagak pemalu yang hanya bisa mengintip mengagumi idamannya.
Adakah mahluk selain dia yang sebegitu indahnya?, tanya gagak pemalu dalam hati.
Gagak pemalu hanya bisa diam, lalu dia memutuskan terbang menjauhi mutiara hutan itu, Sutra namanya.
Gagak terbang tak tentu arah, berusaha lepas dari bayangan Sutra, yang begitu kemilau diingatannya.
Keesokannya, gagak pemalu kembali melintasi hutan kelam itu. Dengan sosok gagah penuh kebanggaan, dia terbang acuh tak acuh, namun sesekali melirik penasaran mencari sosok Sutra, mahluk terindah yang hinggap dikepalanya.
Dan bertemulah gagak dengan sosok Sutra yang sedang membelai lembut sebuah pohon rindang, tak jauh dari pandangan si gagak.
Hati-hati, si gagak mempelajari tiap langkah Sutra yang bersenandung merdu, seolah berbisik pada alam. Menciumi dedaunan yang meranggas dan terbang membelai rambut hitam legamnya, membuat iri si gagak yang tak tahan ingin ikut menghampirinya.
Lama gagak menanti hingga Sutra selesai bersenandung. Dia begitu ingin menghampiri Sutra, tanpa harus mengusiknya.
Pantaskah gagak menjamahmu, Sutra?
Seketika Sutra bungkam. Dia membisu menatap langit dari rindangnya hutan kelam. Dan sunyi menggerogoti syahdu senyap sang hutan. Tak ada apapun menemani Sutra.
Gagak pemalu tersadar. Betapa Sutra hanya sendirian. Mungkin selalu sendirian. Dan Sutra selalu menatap langit, entah kemarin atau pun hari ini. Entah apa yang dinanti Sutra. Entah apa yang memikatnya di langit luas itu. Apakah biru yang pilu memanggilnya, atau kah jauhnya langit untuk bisa digapainya. Gagak pun tak tahu. Namun dia butuh untuk tahu. Dia ingin tahu, apa yang disimpan dalamnya mata coklat itu. Apa yang mengalir bersama derasnya aliran darah dalam tubuh pucat wajah sendu itu. Udara apa yang meresap di setiap tarikan nafas Sutra.
Gagak pun mengurungkan niatnya. Tak mungkin dia menghampiri Sutra. Jauh jarak tak terungkap yang ada antara dia dan Sutra. Dalamnya kisaran jiwa Sutra, begitu ditakuti oleh gagak, dapat menenggelamkan jiwanya. Gagak pun memutuskan pergi. Terbang jauh, menembus kelamnya hutan.
Mungkin besok, Sutra takkan sejauh ini dariku,bisiknya dalam hati.
Besok harinya pun, gagak terbang, namun kali ini tidak dengan gagah sosoknya. Dia terbang ragu dan kadang penuh lamunan dan bingung yang berperang dengan rindu. Dia rindu akan sosok Sutra.
Gagak terbang bebas, tanpa satu tarikan angin menahannya. Dia melintas, melesat dengan cepat, menghampiri pohon rindang kemarin. Dia pun menanti sosok Sutra. Menanti dan terus menanti, berharap hari ini Sutra sudi menyadari kehadirannya, gagak pemalu, pengagumnya.
Datanglah sayup-sayup suara langkah kaki anggun itu. Cerah hati gagak, melebihi cerah warna bulunya. Namun seketika sirna pula kilauan hati gagak. Murung wajahnya menatap sosok tinggi gagah yang berdiri mendampingi Sutra. Manusia sepadan, yang sanggup membuat Sutra tak peduli akan birunya langit dan jauhnya angkasa.
Beriringan pendampingnya memegangi jemari lentik Sutra, melukis senyum yang tak pernah sanggup gagak pahat di wajah lembut Sutra.
Gagak murung.
Gagak bisu.

Dan dia hanyalah gagak.
Tak punya kata, tak punya cara. Yang dia tahu hanya rasa.
Tak punya alasan, tak menuntut jawaban, yang dia tahu hanya ‘ada’.
Gagak pun terbang tinggi, menembus redupnya langit. Menghantarkan dirinya pada kalbu harapan semu.

Rabu, 04 November 2009

renungan mahluk pelupa

Manusia lahir ke bumi yang hijau dan membaui keasriannya, dengan memperkenalkan dirinya sebagai mahluk pelupa. Ya, manusia adalah mahluk Tuhan yang ditakdirkan untuk lupa, dan mereka kemudian lupa ditakdirkan sebagai manusia, dengan segala keterbatasannya.
Sedari manusia lahir, hingga kemudian dia tumbuh dan melihat dengan mata kepalanya sendiri akan bumi tempatnya berpijak, manusia tak pernah benar-benar ingat. Dia selalu lupa. Melupakan satu-persatu detail dalam kehidupannya yang terlewatkan. Sometimes they forget the scene in their life that they have to remember.
Dan dari sinilah kita mulai berhenti dan merenung. Setiap rangkaian yang terlewatkan dalam hidup kita. Setiap bagian dari drama hidup kita yang terlupakan. Setiap adegan yang dapat mengingatkan kita akan takdir kita sebagai manusia.
Ada seorang ibu yang menanti kepulangan anaknya bekerja, hingga jauh malam. Begitu mengantuk, namun bersemangat menunggu setiap jam berlalu dan yakin anaknya akan pulang dengan segera. Menanti di depan pintu menunggu anaknya yang akan pulang dengan wajah kuyu kelelahan dan kembali segar saat disambut ibunya. Namun si anak malah lupa dengan sang ibu. Si anak pergi dengan teman kantornya dan menikmati dunia malam hingga pagi menjelang.
Seorang Ayah yang begitu menyayangi anak dan keluarganya, hingga dia tak mau tahu darimana asalnya, yang penting mereka dapat merasakan hidup bahagia dengan fasilitas mewah dan segala hal indah dalam bayangannya. Si Ayah pun gelap mata dan melakukan berbagai macam cara untuk membahagiakan anaknya, termasuk melakukan berbagai tindak tak terpuji dan menggelapkan uang perusahaan. Si Ayah lupa, bukan kebahagiaan semu yang diharapkan orang-orang yang disayanginya.
Lalu kita lihat seorang istri yang cantik jelita dan hidup berkecukupan karena suaminya yang begitu sederhana, namun pekerja keras yang ulet. Suaminya yang sederhana itu bekerja keras demi memberikan kehidupan layak bagi istri dan calon anak-anak mereka. Namun si istri lupa dengan perjuangan suaminya, dan berselingkuh dengan alasan membutuhkan perhatian lebih. Dia bosan sendirian diacuhkan suaminya karena alasan kesibukan di kantor. Lupa bahwa semua yang dilakukan suaminya hanya demi kebahagiaan mereka sekeluarga nantinya.
Ada kakak beradik yang senang berbeda pendapat dan seringkali mereka harus bertengkar pelik demi mempertahankan semua kebijakan akan keluarganya. Hingga terkadang mereka saling membenci satu sama lain dan tak mengindahkan semua nasihat dari orang sekitar akan hubungan persaudaraan mereka. Mereka lupa bahwa saat mereka tak punya orangtua, hanya saudara kandung merekalah yang akan ada untuk mereka. Bahwa apapun yang terjadi, keluarga adalah satu dan bukan untuk memecah belah apa yang dilindungi kedua orangtuanya semasa hidup. Bahwa apapun yang mereka lakukan, walau berbeda persepsi, sesungguhnya adalah demi kebahagiaan keluarga yang mereka sayangi.
Ada seorang wanita yang begitu tergila-gila mengejar karier dan semua impiannya. Dia bahkan menghabiskan dan menggunakan waktu yang ada dalam umurnya hanya untuk mengejar semua impiannya. Hingga akhirnya dia melupakan kodratnya sebagai seorang wanita, untuk menikah dan memiliki anak hingga membesarkannya. Si wanita kini telah kehilangan orang yang dicintainya dan dijauhi keluarganya akibat keegoisannya selama ini. Sendirian dan terlupakan oleh orang disekitarnya.
Ada seorang pria yang berjalan dengan acuh tak acuh saat melewati seorang kakek pengemis yang begitu kelaparan dan memohon pertolongan si pria itu. Si kakek merintih sakit di jalanan yang panas dan udara yang membakar dahaga. Namun si pria terus saja melewatinya tanpa peduli. Melupakan bahwa apa yang dialami si kakek bisa saja menimpa Ayah yang dicintai si pria atau bahkan menimpa di pria itu di kala dia tua renta dan hidup tanpa perlindungan dan jaminan sedikit pun.
Ada seorang kekasih yang merintih penuh penyesalan mengetahui kekasihnya meninggal di perjalanan pulang ke rumah. Kini orang tersebut hanya bisa menyesali keangkuhannya selama kekasihnya masih hidup. Dia begitu angkuh dan percaya diri akan semua kebaikan, pengertian, dan cinta yang diberikan kekasihnya. Hingga dia tidak pernah sekalipun menunjukkan balasan akan segala kasih sayang yang ditunjukkan kekasihnya itu. Dia begitu meyakini bahwa kekasihnya memahami perasaan cintanya tanpa harus diungkapkan lagi. Hingga kemudian saat kekasihnya meninggal, dia pun mengetahui betapa merananya kekasihnya karena tidak mengetahui sedalam apa cinta orang tersebut. Dia tahu orang itu mencintainya, namun dia ingin tahu sedalam apa cintanya. Bahwa cinta memang dirasakan, namun tak semua orang cukup hanya dengan merasakan. Terkadang mereka butuh bukti sebagai penghargaan atas kepercayaan dan kesabaran mereka selama ini.
Dan masih banyak kisah para mahluk pelupa. Manusia-manusia yang semakin lama semakin pintar namun tidak berarti semakin bijak. Manusia yang handal dengan berbagai teorinya namun tidak mampu mengakui bahwa tidak semua teorinya telah mereka praktikkan. Manusia yang lupa bahwa dia tidak besar karena dirinya, melainkan karena orang lain membesarkannya.
Lupa, terkadang merupakan suatu hal bijak, jika itu dapat membuat kita melupakan hal-hal menyakitkan dalam hidup kita. Namun, begitu kita melupakan hal-hal menyakitkan itu, maka kita pun melupakan bagian diri kita yang mampu bertahan melewati hal-hal menyakitkan itu dengan luar biasanya.
Lupa, membuat kita lupa bahwa manusia layaknya sweater yang dirajut dengan penuh kesabaran. Perlahan dengan ketekunan kita dirajut hingga akhirnya menjadi sebuah sweater hangat yang mampu melindungi kita dari dinginnya udara. Namun apabila kita lupa, maka sweater itu terlihat bolong di berbagai tempat dan takkan pernah menjadi sweater yang sehangat yang kita butuhkan. Hanya sebuah sweater yang penuh dengan bolong kecil dan tetap dingin saat digunakan. Namun bukan manusia namanya jika kemudian setelah membaca ini, dia melupakan semua renungannya. Karena kita memang ditakdirkan menjadi mahluk-mahluk pelupa.

A Theory

If there’s a theory about love, then love wouldn’t be as emotional as we know.
Love is something random, unexplainable, and unpredictable.
Love is God’s will.
The secret of love is love itself.
Jadi bukan salah Nara nggak bisa mengerti Diska sepenuhnya.
Begitu pula sebaliknya.
Kenapa?
Karena keduanya memaksa untuk memahami satu sama lain, hingga mereka lupa untuk memahami cinta itu sendiri.
Memahami bahwa cinta itu menyatukan perbedaan.

“Kalau aku pake baju ini bagus, nggak?”, tanya Diska.
“Kamu pake baju apapun juga bagus, sih”
Cowok bukan mahluk yang detail dan malas meributkan hal kecil. Namun cewek melihat itu sebagai bukti betapa besarnya perhatian si cowok hingga ke masalah penampilan si cewek. Hingga akhirnya mereka lupa, poin sesungguhnya yang harus mereka ambil adalah ketika si cowok tetap berusaha membahagiakan ceweknya dengan berusaha bersikap peduli.

“Aku udah nggak tahan lagi sama sikap kamu. Kita putus”, omel Diska.
“Kalau menurut kamu itu yang terbaik”, jawab Nara.
Terkadang cewek mudah mengucapkan putus bukan berarti karena mereka benar-benar ingin putus, namun justru karena mereka ingin melihat si cowok mempertahankannya.

“Kamu terlalu cuek, nggak peduli sama hubungan kita”, keluh Diska.
“Kamu yang terlalu berlebihan, selalu minta diperhatiin”, balas Nara.
Andai saja mereka mengakui, bahwa keduanya benar. Terlalu cuek atau terlalu perhatian sama-sama akan mengganggu hubungan mereka.

Selalu saja ada pertentangan diantara keduanya. Yang lucunya, semakin bertentangan, semakin mereka saling tarik-menarik. Sekali lagi, ini bukan teori tentang cinta. Karena cinta itu sesuatu yang acak, tak memiliki suatu pola. Tak punya dosis tepat, dan tak ada panduan penggunaannya.
Setiap kisah memiliki gaya mereka sendiri dalam menuturkannya, merangkainya hingga sepadan melengkapi bagian cerita dalam hidup.
Suatu fenomena klasik, dimana ada saja seorang individu yang terus mengeluhkan akan hubungannya atau pasangannya yang pada kenyataannya, mereka tetap menjalaninya, seberat apapun itu.
Atau bahkan ada individu yang mengaku mati bosan, namun tak bisa melepaskan orang itu dari hidupnya.
Kalau kata ilmu pengetahuan, it’s unexplainable.
Kata agama, it’s destiny.
Kata saya, it’s curse.
Kata orang-orang, it’s love.
Jadi di kala salah satu dari kita ada di sebuah persimpangan dan bingung menentukan apa kita harus bertahan atau menyerah, you should go back to the basic question.

Bisakah kamu tanpanya?

*dedicated to people who tends to forget to forgive

Rabu, 16 September 2009

ajang ekspektasi

Dimas menatap lurus sosok kontradiktif dan kompleks Naya. Sebuah sosok tegas yang justru lebih tegas pada dirinya sendiri, ketimbang orang lain. Sosok angkuh yang pasang harga selangit justru pada dirinya sendiri. Sosok tajam yang lebih setia menghunuskan pedangnya, sekali lagi, justru pada dirinya sendiri.
Sosok yang bermusuhan dengan dirinya ini pun kini terlihat sedang menyelesaikan perangnya. Perang imajinasi yang takkan pernah bisa Dimas pahami. Perang yang lahir dari dunia dan pribadi sosok Naya, sosok kontradiktif yang melahirkan kontradiksi kompleks dalam diri Dimas.
Dan kini Dimas geram. Dia tak ingin lagi ada di luar perang itu. Dia ingin ada di dalamnya. Dia ingin menjadi musuh Naya. Sebuah sosok kuat yang selalu berseberangan sekaligus bersisian dengannya. Sosok yang dapat menentang dan memahami Naya di waktu yang bersamaan. Sosok yang menjadikannya ada dan tiada. Sosok yang menjadi alasan adanya Naya.
Dimas ingin menerobos benteng yang dibangun Naya. Terlalu lama dia berdiam diri membiarkan Naya membangun tembok kokoh itu. Ini waktunya dia meminta haknya. Dia jengah melakukan kewajibannya, membiarkan Naya membangun satu persatu balok batu komponen benteng dingin itu. Terlalu lama putri angkuh itu duduk di singgasananya. Dan detik ini, Dimas akan membawanya. Menyeret sosok kompleks itu, agar mau memandang sosok yang semakin sesak atas deraan angin dingin dari benteng itu.
Dimas menghela sejenak. Dia berusaha mengulum emosinya. Dia tahu benar, dia tak dapat menerobos benteng itu dengan mendobrak gerbangnya, sementara telah terlalu lama dia mengetuk gerbang benteng itu. Dan kali ini dia akan berteriak. Memaksa Naya untuk turun dari singgasananya dan melihat sejelas mungkin sosok yang ingin masuk itu. Sosok yang merasa berhak untuk masuk, namun kini jengah akan lamanya pintu benteng itu terbuka.
“Lihat aku, Naya Andhini”
Setitik ragu melintas di kedipan sekilas matanya. Namun dengan tegas dan tajam, Naya menolehkan pandangannya. Pandangan lurus itu terlihat sedikit goyah oleh sorot lembut Dimas.
“Aku selalu melihat kamu, Dimas”
Senyum tipis yang sinis mampir di wajah konyol Dimas. Wajah yang selalu berhasil menghibur Naya yang gamang.
“Kamu cuma ngelihat sosok yang pengen kamu lihat”
“Aku ngelihat apa adanya kamu, Mas”
“Termasuk perasaan aku?”
Hening.
Tarikan nafas Naya tertahan.
Sekali lagi Dimas membungkam emosinya.
“Apa kamu juga ngelihat aku, Dimas?”
“Selalu dan seutuhnya”
“Termasuk perasaan aku?”
Sekali lagi senyum sinis menghias wajah Dimas.
“Memangnya kamu punya?”
“So, you’ve got the point”
“In which side, Naya? It’s all yours”
Naya menghela nafasnya. Dia terlalu lelah dan jengah. Bukan oleh Dimas, namun lebih pada perang yang kini kembali mengisi kepalanya. Semakin teriakan hati Dimas menjerit, semakin gemanya mengguncang keseimbangan Naya.
Dimas bukan musuhnya.
Dan takkan mungkin menjadi.
Dan dia takkan pernah membiarkan itu terjadi.
“Aku mau kamu jadi milikku, Nay”
“Ini bukan masalah kepemilikan, Dimas”
“Lalu apa?”
“Kita berseberangan”
“Cinta bisa membuat kita bersisian”
Naya tertawa miris.
Dimas menggeram, bingung akan gelak tawa Naya.
Keduanya tenggelam dalam keburaman.
“Kamu baru menunjukkan kita berseberangan”, ujar Naya, akhirnya.
Dimas membisu. Namun wajahnya terlihat bawel dan sesak akan pertanyaan. Lagi-lagi dia terjebak sosok kompleks Naya. Senyum Naya terukir lembut. Kini sorot tajam itu telah pergi. Ada kesepahaman dalam hatinya. Perang itu kini usai.
“Aku perlu tahu perasaanmu, Naya. Kalau itu memang ada”
Hening.
Dalam, Naya menatap sosok akrab dan selalu istimewa di matanya itu. Sosok yang ingin dibiarkannya bebas dan tak terbeban oleh keburaman akan dirinya dan penasarannya.
“Perasaanku nggak penting”
Naya menundukkan kepalanya. Di depannya, ada sosok yang paling ingin dipertahankannya, sekaligus dibebaskannya. Dan sosok itu, mengenali kegamangan yang dilukiskan Naya. Tangan itu pun terulur ke arah Naya, seolah tak memperdulikan jawaban Naya barusan. Menguapkan semua keraguan Naya. Tangan itu hanya butuh sambutan dari Naya, bukan jawaban buram yang kompleks dari sosok kontradiktif.
“Mencinta adalah membiarkannya bahagia”
Naya mengangkat kepalanya. Menatap lurus Dimas.
“Membiarkanmu bahagia”
Dimas mengepalkan tangannya. Menarik uluran itu.
“Kalau kebahagiaanku bersama kamu?”
“Dari mana kamu tahu kebahagiaanmu bersama aku?”
“Dari mana kita tahu kalau kita belum pernah nyoba?”
Naya menggigit bibirnya.
“Perasaan bukan ajang percobaan”, jawabnya geram dan mantab.
“Tapi kita nggak akan pernah tahu tanpa mencoba”
“Dan setelah kita tahu?”
Dimas terdiam. Dia meremas jemarinya. Kembali, Naya seolah menbanting pintu dengan keras, tepat di depan mukanya.
“Yang aku tahu, aku bisa sama kamu, Nay”
“Yang aku tahu, gimana setelah kamu sama aku”
“Hubungan bukan ajang prediksi”
“Tapi ajang ekspektasi”
Hening. Hanya dua sorot yang bergejolak. Dua perasaan yang memberontak. Dua persepsi yang bertabrakan. Dua insan yang memperjuangkan keyakinannya.
“Dan ekspektasiku adalah membiarkanmu bahagia, dari sudut pandang aku, Dimas”

orang-orang bijak

Orang bijak bilang, berpikir sebelum bertindak.
Jadinya, semuanya yang kita lakukan itu, terencana dengan baik. Jauh dari namanya kegagalan.
Tapi kata orang bijak juga, kegagalan itu kesuksesan yang tertunda.
Nah, lho. Bingung.
Lagi-lagi orang bijak bilang, kesuksesan itu 99% latihan.
Latihan itu kan masalah praktek. Learning by doing. Jadinya, kita perlu mikir nggak, sih?
Ok, coba tanya lagi orang bijak.

-Hmm..kenapa nanya sama orang bijak?
*Karena dia kayaknya pinter.
-Emangnya kalo’ pinter selalu punya jawaban? Selalu tahu apa yang mesti dilakuin, selalu jago ambil keputusan?
*Namanya juga orang pinter. Doyan mikir. Jadinya selalu mikir sebelum bertindak. Jadinya tindakannya selalu bener.
-Jadinya kebanyakan mikir.
*Bukannya itu bagus?
-Tanya aja sama yang itu, tuh.
*Yang mana?
-Yang duduk di bangku deket pohon itu.
*Emangnya dia pinter?
-Professor, maaan.
*Wuih, keren. Tapi ngapain dia sendirian di sana?
-Karena dia pinter.
*Lah, kok?
-Jadinya kebanyakan mikir, lelet bertindak. Alamat sendirian terus hingga ke liang lahat, deh. Hahaha
*Emangnya dia kenapa?
-Ah, masalah klise. Orang pinter yang kelakuannya bego.
*Oh ya?
-Yoi. Kelamaan nunggu waktu yang tepat buat nembak cewek. Dikiranya dia udah kompeten buat itu cewek. Nggak tahunya, waktu balik abis ngambil S3 dari Harvard, ternyata itu cewek udah nikah sama sahabat itu professor yang kerjaannya maen mulu dan S1nya nggak selesai, tapi sukses jadi businessman.
*Kenapa dulu nggak ngungkapin dulu sebelum ke Harvard?
-Ya itu. Kebanyakan mikir.
*Wah, bener tuh. Kalo kata film, cinta bisa datang, bisa pergi, tapi nggak bisa nunggu.
-Aaahh, kata siapa.
*Hah?
-Cinta bisa nunggu, kok. Yang jadi masalah itu…
*Apa?
-Cinta butuh kepastian.
*Ets, gimana tuh?
-Coba aja si professor ngungkapin dulu, pacaran, tunangan, janji balik lagi. Sampe botak juga ditungguin, kali. Itu cewek kan aslinya naksir duluan sama itu professor dari dulu banget.
*Yah, bego banget itu professor. Kenapa itu cewek nggak ngungkapin duluan?
-Gimana mau ngungkapin? Mana dia tahu perasaannya si professor
*Makanya, biar tahu, mesti diungkapin dulu.
-Hahaha
*Loh, kok ketawa?
-Manusia itu bego, ya.
*Kenapa?
-Kadang kita suka sombong, ngerasa udah berkorban banget, udah usaha banget. Padahal, ya kalo nggak ada yang tahu usaha kita ya percuma aja. Gimana mau tahu perasaan kita, kalo nggak kita ungkapin? Nggak cukup cuma ngungkapin buat nunjukin, tapi juga nunjukin buat ngungkapin. Coba dulu si professor bilang ke itu cewek kalo dia mau jadi orang sukses biar pantes buat itu cewek, atau si cewek bilang ke professor dia udah lama nyimpen rasa ke professor, sampe mati-matian jadi sahabat paling baik.
*Wah, bener banget tuh
-Yoi, kan?
*Yoi, ntar gue mau nembak gebetan gue, aah
-Sok bener, lo. Emangnya udah pasti diterima?
*Hahaha
-Loh, kok jadi elo yang ketawa?
*Even the smartest person can not always make the smart decision. Kita nggak akan tahu keputusan ini tepat ato nggak, kalo nggak dicoba dulu.
-Learning by doing, nih yee
*Bukan, man. Back to basic aja.
-Hah? Apaan lagi, tuh?
*Hukum alam, siapa cepat dia dapet. Hahahaha

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto saya
I am a product of imagination who dwells in a faraway castle. This blog is not related to my profession in real life but meant to be a tool for me as a human to share my thoughts and notions. This blog was initially started as a project in my college time because I took marketing communication as my concentration but it appears that I need a vessel of my imagination so here we are ! PS: pardon my language or thoughts if you feel it's quite offensive :)

Pengikut

Arsip Blog