Sabtu, 10 Juli 2010

jana and yana

Aku mau piknik, ujar Jana pagi itu.
Mata besarnya terlihat berbinar menatap Dion yang baru saja bangun dari tempat tidurnya kala itu. Dion pun mengusap wajah dengan kedua tangannya, berusaha menyegarkan pikirannya, agar dapat menyimak lebih jelas kelakuan Jana kali ini.
Sori, kamu bilang mau apa?, tanya Dion lagi.
Aku mau piknik, Dion. Semuanya udah aku siapin di tas. Ayo, kamu mandi. Wear your glasses and take a bath by now. I’ll wait, ujar Jana lagi.
Sambil menggaruk kepalanya, Dion memeriksa jam dindingnya. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Udara masih terlalu jernih dan dingin untuk sebuah piknik. Diliriknya sosok gadis dengan rambut yang dikuncir asal itu. Dia terlihat bersemangat memeriksa kelengkapan di dalam tasnya. Entah apa saja barang-barang yang ditaruhnya di dalam tas rotan berukuran besar itu.
Serius? Terus kamu ngapain bawa tas rotan gitu, sih?, tanya Dion acuh tak acuh.
This is a picnic, ok? We should bring this rattan bag and a blanket, just like the irish does, jawabnya bersemangat sambil memamerkan tas rotan dan selimut bermotif kotak-kotak.
Whatever, gumam Dion tak ambil pusing.
Dion pun mengambil handuknya dan segera menuju kamar mandi, yang terletak di dekat kamarnya. Matanya sedikit melirik ke sekitar kamar mandi, apakah ada teman-teman kontrakannya yang sedang mengincar kamar mandi pagi itu.
Haha, siapa juga yang mau mandi minggu pagi gini, celetuknya dalam hati.
Dion melangkah masuk ke kamar mandi dan mandi secepat yang dia bisa. Dia tak ingin membuat Jana menanti. Jana bisa menyindirnya habis-habisan kalau rencana pikniknya digagalkan Dion. Selesai mandi, Dion memakai deodorantnya yang ada di kamar mandi, kemudian memeriksa senyumnya pagi itu. Apakah dia sudah menggosok gigi dengan bersih atau tidak. Setelah dia yakin secemerlang apa dia pagi itu, Dion pun melangkah keluar kamar mandi. Dia membuka pintu, dan..
Hoi! Pagi amat, Yon? Gue kira siapa, ngerusak morning tradition gue aja, celetuk pria bertubuh tambun didepannya itu.
Ah elo, Rob. Itu, Jana ngajakin piknik, jawabnya malas.
Cengiran Robi yang penuh arti pun segera terukir polos, seolah dengan sengaja dia tak berniat menutupinya sama sekali.
Romantisnyaaaaaaaa…
Berisik ah, sana lo, mau boker kan?
Kereen. Tau gitu sih, lo?
Morning tradition, nyet. Apaan lagi, coba?
Lo emang temen yg paling pengertian. Sayang Jana nggak ngerti maksud hati lo, hahahhaha. Have fun…’pik-nik’nyaaaa
Spontan Dion bergaya setengah melempar Robi dengan handuknya. Masih adaaa saja orang yang meragukan hubungan pertemanan dia dan Jana. Namun, dia menahan sikapnya saat Jana tiba-tiba muncul dan bergaya seolah menunggunya terlalu lama. Jana menunjuk-nunjuk jam tangannya dan mengerutkan dahinya.
Ok, wait a minute. It won’t be long, ujar Dion yang segera bergegas.
Sekitar 10 menit kemudian, Dion pun telah bersiap dengan tas ranselnya. Dia mengelap kacamata berframe hitamnya dengan apik, memperjelas matanya yang sedikit terganggu embun pagi itu. Dingin masih nyaman menemani udara di sekitar rumah kontrakannya bersama teman-temannya tersebut.
Ok, kita masih sempet ngejar kereta kan, kalo sepagi ini, celetuk Jana penuh semangat.
Dion sedikit terperangah.
Kereta? Emang kita mau kemana?
Piknik.
Ya di mana?
Taman, lah. Aneh amat sih, lho, ujar Jana sambil berlalu.
Which park?, tanya Dion setengah memekik.
Namun, seperti biasa, the young and impulsive Jana yang selalu mengikuti kemana angin membawanya. There she goes.
Dan beberapa menit selanjutnya, Jana dan Dion sudah berada di dalam sebuah kereta. Membutuhkan waktu sekitar 1 jam menuju tempat mereka piknik. Penumpang kereta di waktu sepagi itu tidak terlalu banyak. Biasanya, di hari Minggu seperti ini, penumpang kereta justru lebih ramai, mengingat tempat tujuan mereka juga termasuk tempat wisata keluarga.
Ini bukan pertama kalinya Jana datang dengan berbagai ide spontannya. Sebagai sahabat, yang notabenenya ada di saat dibutuhkan, begitu pula layaknya Dion pada Jana. Dion yang selalu ada di saat Jana membutuhkannya. Dion ada di saat Jana ingin sate padang di malam hujan lebat. Dion ada di saat Jana ingin melihat Yogyakarta di pagi hari. Dion ada saat mereka berdua tersesat dan menghabiskan waktu menemukan jalan pulang. Dan terakhir, Dion ada saat Jana mau piknik di taman yang membutuhkan waktu 1 jam perjalanan via kereta api.
Jan, nggak ada tempat piknik yang lebih jauh lagi?, celetuk Dion, menatap Jana yang melihat pemandangan di jendela kereta api.
Jana yang hanya nyengir asal, tersenyum cerah saat Dion menatap matanya dengan lurus.
Aku mau deh, kita main petak umpet kaya waktu itu, Yon, ujar Jana, mengalihkan pembicaraan.
Petak umpet?, tanya Dion-teralihkan.
Iya, inget nggak? Yang kita main petak umpet keliling Jakarta. Aku sama kamu pisah jalan. Kita ngumpet di berbagai tempat di Jakarta. Kita pergi ke rute berbeda. Masing-masing harus nentuin 4 tempat untuk dikunjungin hari itu. Kita foto diri kita di tempat itu sebagai bukti. Dan kita harus sampai di tempat yang kita janjiin, sebelum waktu yang ditentukan. Siapa yang telat, dia kalah
Dan yang kalah, harus ngelakuin apapun yang dimau yang menang. AH! Gimana aku bisa lupa. Terakhir kali kamu yang menang, curang weeeek!
Hahahahhaha. Tapi kan request aku simple, nggak mahal-mahal
Tetep aja, kamu request aku nganterin kamu nyari ketoprak. Nyarinya sih, nggak susah, tapi berhubung nyarinya via ngebonceng kamu pake sepeda, astagaaa meletus betis aku
Hahahahahhaha. Masih untung aku nggak ngerengek naik becak, ya
Hahhahaha, segitu pengennya betis aku meletus kayak balon ya, Jan?
Hahhaahahahah. Yana is gay
Dan tawa Dion lenyap saat mendengarkan satu kalimat terakhir dari Jana. Berbeda dengan Jana yang masih saja meneruskan tawanya. Jana bahkan mungkin tak menydari seberapa berat pernyataan yang dilontarkannya barusan. Pernyataan yang mengundang pertanyaan.
Did you say that your brother is gay? For sure?, tanya Dion memperjelas apa yang baru saja didengarnya.
Kali ini Jana hanya nyengir lebar. Wajah polos dan mata berbinarnya terlihat tulus dan apa adanya.
Yesterday, he admitted it
Did your mom know about this?
Sooner or later, jawabnya mantab.
Tatapan lurus yang jujur dan tak menghakimi itu, hanya Jana yang memilikinya. Selain Jana, pastilah Yana. Saudara kembarnya.
Do you know one thing about being impulsive people? They always follow their heart, even if it’s to run away from their troubles.
They look tipsy of their happiness and happy as they can be.
Dan sosok itulah yang ditatap Dion saat ini. Sosok santai Jana yang ‘seolah’ menghadapi kenyataan.
Jana yang realistis dan impulsive, berkebalikan dengan Yana yang sensitif dan delusive. Dibesarkan oleh single parent yang independent. Saudara kembar itu terlihat saling melengkapi, menutupi kekurangan satu dan lainnya. Dion is the first person who can enter the bond between Jana and Yana.
Walau Jana lebih realistis, namun Dion tahu dengan benar, bahwa justru Yana lebih tegar daripada Jana. Bukan karena Yana adalah pria. Tapi lebih pada sifat Jana yang absurd. She doesn’t even know the map of herself. Dion adalah orang pertama yang bisa Yana percaya untuk dia menitipkan Jana.
Jana yang selalu terlihat santai. Justru saat dia semakin tertawa lebar, yang terdengar oleh Dion adalah kebingungan. Jana yang linglung, yang tak pernah bisa menyayangi siapapun, kecuali Ibunya dan Yana. Dan kini keseimbangan sisi realistisnya akan terpengaruh oleh kenyataan harus serealistis apakah dia saat dunia mengetahui tentang Yana?
Kereta pun kini telah berhenti di stasiun yang berjarak 1 jam dari kota tempat mereka tinggal. Sinar matahari sudah mulai meninggi, namun belum begitu terik. Waktu mereka piknik masih ada.
Cari penyewaan sepeda, yuk, ajak Jana.
Dion yang menggeleng-gelengkan kepalanya langsung luluh saat Jana menggandeng tangannya dengan semangat.
Benar saja, ada tukang penyewaan sepeda di dekat stasiun itu. Setelah bernegosiasi sejenak, akhirnya mereka pun pergi menuju taman tersebut. Tentunya dengan Dion membonceng Jana. Jalanan yang sedikit menanjak, tak melunturkan semangat Dion yang ingin memenuhi hasrat Jana kala itu.
Begitu sampai di taman dan mencari tempat yang sedikit nyaman-tepat di bawah matahari hangat-her favorite. Jana membentangkan selimut lebarnya. Kemudian dia mengeluarkan sandwich yang telah dipersiapkannya.
Sori ya, adanya sandwich. Kamu kan tahu aku nggak bisa masak, ujar Jana tersipu malu.
Hahaha, belajar deh kamu dari Yana. Masa jagoan dia masak dari kamu?
What can I say? He’s such a gay, and indeed, he is
Sambil masih terkekeh, Jana mempersiapkan hidangan untuk Dion, berikut dengan orange juice kesukaan Dion, lalu dessert berupa waffle dengan selai blueberry dan rangkaian buah segar. Dion yang sudah kehabisan tenaga akibat mengayuh tanjakan dan membonceng Jana, langsung melahap hidangan tersebut.
Saat dia melahapnya, Dion sedikit malu melihat Jana yang menatapnya secara terang-terangan. Jana menatapnya lurus dan penuh konsentrasi.
Ngeliat apaan kamu?
Kamu, lah
Hahahhaha. Heh jangan suka bikin orang geer
Siapa? Kamu?
Iya, lah. Siapa lagi?
Kalo geer, artinya naksir
Well, I don’t
Well, I do
Uhuk uhuk! Uhuk uhuk!, Dion pun tersedak. Setengah terkekeh, Jana memberikan minuman padanya. Dion langsung meminum segelas air putih yang juga dibawa Jana. Kemudian, setelah menenangkan diri, Dion memandang Jana dengan ekspresi serius.
Jan, perasaan bukan ajang main-main
I know
So, for your information, do not say anything about this anymore
So you don’t like me?
Hening.
I thought that we’re friends
Bullshit. We could never be friends. Robi dan temen-temen kontrakan kamu pasti juga mikir yang lain kan?
Sekali lagi. Hening.
Dion tak tahu apa yang bisa dia katakan. Semua yang telah dia acuhkan, kini seolah terbuka. Menguap menjadi beberapa tutur kata jujur dan ringan dari Jana. Perasaannya yang selalu dia coba hindari dan acuhkan, seolah datang dan menyerbu otaknya dalam sekejab.
Ok, here’s the thing. I like you. I really do. I don’t want you. I need you. I can’t be my self with anybody else, but you. I can’t be not around you. So I guess, I need to be next to you, for the rest of my life.
Jana langsung menutup mulut Dion saat Dion mencoba memberikan respon.
But I can’t give you a status. Ini aku, Dion. I can’t live in a relationship. That’s not my thing. Relationship just make people come and go. It doesn’t guarantee the people would stay. I don’t do that. But I can live on your side, as long as you want me
Hening. Jana membuka bekapan tangannya. Dia membiarkan Dion bicara kini.
Namun Dion hanya terdiam. Diciumnya dahi Jana, kemudian dia memeluk Jana dengan erat. Tidak satu pernyataan pun keluar dari mulutnya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Jana ‘menghadapi’ sesuatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya

Mengenai Saya

Foto saya
I am a product of imagination who dwells in a faraway castle. This blog is not related to my profession in real life but meant to be a tool for me as a human to share my thoughts and notions. This blog was initially started as a project in my college time because I took marketing communication as my concentration but it appears that I need a vessel of my imagination so here we are ! PS: pardon my language or thoughts if you feel it's quite offensive :)

Pengikut

Arsip Blog